Cinta. Sampai usia sekarang aku masih belum bisa menjelaskannya. Bahkan rasanya seperti apa aku belum memahaminya.
Ketika ditanya tentang cinta, aku selalu merujuk kepada apa yang pernah aku dengar, apa yang pernah aku baca. Mereka berkata bahwa cinta datang dari Maha Kuasa. Mereka berkata bahwa cinta adalah pemberian yang mulia. Mereka berkata sekadar debaran jantung tatkala memandang wajah pasangan menjadi ciri utama.
Mereka memberikan ciri sebanyak lima. Ada beberapa jenis dan cara dalam mengungkapkan cinta. Mereka menyebutnya sebagai bahasa. Aku mencoba memahaminya.
Menurutku, sebagai bahasa, memang ada penutur dan pendengar. There’s give, there’s receive. Berdasarkan teori yang satu ini, aku menyatakan bahwa aku adalah pemberi act of service dan penerima words of affirmation.
Bahasa cinta yang paling lemah. Pelajaran agama yang selama ini aku tempuh pun memberi titik di mana bisa menjadi mulia dan bisa menjadi hina. Mulia, ketika “Barang siapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, maka dia tidak berterima kasih kepada pencipta-Nya.” Hina, ketika mengincar pujian menjadi tujuan utama.
Maka aku menulis ini hanya dengan satu tujuan. Mencoba memahami apa itu cinta dengan memaparkan kembali apa yang aku terima.
Mari kita mulai dari paling awal. Tentu, Allah memilihkan bahwa saya menjadi seorang laki-laki, anak satu-satunya di keluarga. Ini saja sudah menjadi titik awal bagaimana perkembangan dan lanjutannya.
Ketat? Strict? Apakah itu menjelaskannya. Aku menemukan sebuah kutipan yang cocok. “Seorang ibu tidak ingin anaknya kenapa-napa, seorang ayah tidak ingin anaknya tidak bisa apa-apa.”
Penggunaan kata “ulun” dan “pian” yang notabene tingkatan sopan sebagai bagian adab belum dipermasalahkan. Nanti ceritanya sampai di kelas 6 saat sudah mengenal zaman SMS dan munculnya istilah pacaran. Entah apa keterbatasan yang aku rasa, tetapi pembiasaan untuk menggunakan “aku” dan “ikam” perlu waktu yang cukup lama. Aku dulu berkhayal agar aku segera mampu menggunakannya.
Keluarga yang didominasi perempuan menjadikan diri ini lebih sering dekat dengan perempuan di luar rumah, apapun lingkungannya. Sepupu perempuan, usia dini dekat perempuan, tingkat dasar dengan perempuan. Bahkan rasanya begitu sering disandingkan dengan gadis tertentu. Jatuh hati selalu muncul di akhir. Waktunya saja sudah dekat dengan perpisahan, seandainya memang terpisah pun maka takdirlah yang berucap demikian. Dari RA, MI, MTs, MA, bahkan Kuliah tatkala mungkin ada yang naksir, perpisahan itu tidak terelakkan.
“Ketika memandang wajahnya, maka hatimu akan berdebar.” Bagaimana ungkapan ini bisa muncul? Perbincangan yang normal waktu perkuliahan, aku tidak bergabung dengannya. Aku hanya mendengarkan dari kejauhan dan hanya sengir yang terukir di wajah.
Di usia yang lebih dua puluh ini pun, masih dibatasi untuk menggunakan dana yang aku hasilkan pribadi. Kata “menikah” semakin sering diucapkan. Aku ingin memanfaatkannya untuk hasrat sendiri. Ada satu mimpi yang sangat ingin aku capai. Sebagai seorang penulis, aku ingin menerbitkan bukuku sendiri. Ya. Bukan berpangku kepada beragam penerbit, bukan menerbitkan secara digital saja seperti yang aku lakukan selama ini. Memeluk buku solo. Allah wujudkan, aku mohon.
Aku berpikir ulang dengan permohonan menggunakan kata ganti ulun-pian itu. Aku dulu berpikir satu-satunya cara adalah dengan memiliki seorang istri sehingga begitu mengharapkannya. Siapa sangka dengan menjadi seorang pengajar sudah mengizinkannya terjadi lebih awal daripada yang dikira.
Aku akan menjawab lagi pertanyaan itu, masih bersumber dari pihak lain. Jika ada orang yang ingin aku cintai, maka itu adalah diriku sendiri. Masih banyak mimpi yang perlu aku wujudkan. Berkelana mengitari bentala menjadi tujuan utama. Memeluk apa yang aku tulis sendiri.